![]() |
| Zaman Azuchi–Momoyama menandai akhir Sengoku, unifikasi Jepang oleh Nobunaga dan Hideyoshi, serta awal interaksi Jepang dengan Eropa. (Ilustrasi/Apluswire) |
Zaman Azuchi–Momoyama berlangsung antara 1573 dan 1603 dan menjadi periode transisi penting dalam sejarah Jepang. Era ini dinamai dari dua kastil ikonik Azuchi milik Oda Nobunaga dan Momoyama milik Toyotomi Hideyoshi yang menjadi simbol kekuasaan dan kemegahan.
Periode ini menandai akhir Zaman Sengoku yang dipenuhi konflik antardaerah serta persiapan menuju pemerintahan Tokugawa yang lebih stabil.
Selain aspek politik dan militer, masa ini juga membuka pintu kontak besar dengan bangsa Eropa melalui pedagang dan misionaris, membawa pengaruh budaya, teknologi, dan agama baru ke Jepang.
Latar Belakang Zaman Sengoku
Sebelum periode Azuchi–Momoyama, Jepang memasuki Zaman Sengoku, di mana kekuasaan pusat yang dibangun oleh Shogun Ashikaga melemah drastis akibat Perang Ōnin (1467–1477).
Kekuatan Ashikaga runtuh, sehingga para daimyo berebut wilayah dan pengaruh. Konflik berkepanjangan ini memunculkan tokoh-tokoh yang berambisi menyatukan Jepang.
Menurut Profesor Sejarah Jepang Universitas Kyoto, Hidetaka Tanaka, “Periode Sengoku membuka jalan bagi figur seperti Oda Nobunaga, yang memiliki visi menyatukan seluruh wilayah Jepang secara militer dan administratif.” Kondisi ini membentuk dasar politik dan sosial bagi era Azuchi–Momoyama.
Oda Nobunaga dan Strategi Unifikasi
Oda Nobunaga menjadi figur sentral dalam upaya unifikasi awal Jepang. Terkenal karena pendekatan militer revolusioner, Nobunaga memanfaatkan senjata api yang diperkenalkan oleh pedagang Portugis untuk mendapatkan keunggulan di medan perang.
Salah satu kemenangan kuncinya adalah Pertempuran Okehazama pada 1560, yang membuatnya terkenal secara nasional.
Selain strategi militer, Nobunaga juga melakukan reformasi politik dan sosial. Ia mengurangi kekuasaan kuil-kuil Buddha yang memiliki pengaruh politik dan militer, serta mendorong perdagangan untuk memperkuat ekonomi.
Nobunaga juga menjalin aliansi dengan Tokugawa Ieyasu, memperkuat posisi politiknya menghadapi musuh-musuh yang menentang unifikasi.
Namun, pada 1582, Nobunaga meninggal akibat pengkhianatan jenderalnya, Akechi Mitsuhide, meninggalkan kekosongan kekuasaan yang kemudian diisi oleh Toyotomi Hideyoshi.
Toyotomi Hideyoshi: Penyempurnaan Unifikasi
Toyotomi Hideyoshi, mantan pelayan dan jenderal Nobunaga, melanjutkan usaha unifikasi dengan pendekatan diplomasi dan administrasi yang cermat. Pada akhir abad ke-16, seluruh Jepang berhasil berada di bawah kendalinya.
Hideyoshi memperkenalkan Kebijakan Pedang (katanagari), melarang petani memegang senjata dan menegaskan struktur kelas sosial yang kaku.
Selain itu, ia mengatur pengendalian daimyo melalui sistem pajak dan pengadaan tanah yang ketat. Ia juga meluncurkan dua invasi ke Korea pada 1592 dan 1597, meski kedua ekspedisi ini gagal dan menimbulkan tekanan ekonomi besar.
Profesor Tanaka menambahkan, “Hideyoshi berhasil menyatukan Jepang bukan hanya melalui kekuatan militer, tetapi juga melalui manajemen sosial dan politik yang sistematis, menciptakan fondasi bagi stabilitas yang kemudian dijalankan Tokugawa.”
Sebagai bagian dari strategi konsolidasi kekuasaan dan simbol kemegahan era unifikasi, Oda Nobunaga membangun Kastil Azuchi pada akhir 1570-an di Danau Biwa dekat Kyoto.
Kastil ini tidak hanya berfungsi sebagai benteng pertahanan tetapi juga sebagai istana megah dengan ornamen artistik yang menonjol. Posisi strategisnya memungkinkan pengawasan wilayah dan pusat administrasi yang efektif.
Hideyoshi membangun Kastil Momoyama di Kyoto, menampilkan kemewahan abad ke-16 dengan lukisan dinding, taman yang dirancang indah, dan arsitektur rumit.
Kedua kastil ini menjadi pusat perkembangan seni, mulai dari lukisan, keramik, hingga upacara teh, mencerminkan perpaduan kekuasaan politik dan budaya yang menjadi ciri khas periode ini.
Awal Kontak Besar dengan Eropa
Periode Azuchi–Momoyama juga menjadi awal interaksi intens Jepang dengan Eropa, terutama Portugis, Spanyol, dan Belanda.
Misi misionaris Jesuit, termasuk Fransiskus Xaverius yang datang pada 1549, mulai menyebarkan agama Kristen.
Beberapa daimyo menerima kedatangan misionaris ini karena keuntungan perdagangan dan teknologi yang mereka bawa.
Pedagang Eropa memperkenalkan senjata api, kompas, dan teknik pembuatan kapal baru yang mengubah strategi militer dan perdagangan Jepang.
Namun, pengaruh agama Kristen dan budaya Barat menimbulkan ketegangan sosial dan politik, yang kemudian menjadi faktor penting bagi kebijakan isolasi Jepang di era Tokugawa.
Menurut Sejarawan Budaya Jepang, Akiko Sato, “Kontak dengan Eropa memperluas wawasan Jepang, memperkenalkan teknologi dan ideologi baru, namun juga menimbulkan tantangan yang harus dikelola penguasa berikutnya.”
Dampak dan Warisan
Zaman Azuchi–Momoyama menjadi jembatan antara kekacauan Sengoku dan era damai Edo. Unifikasi yang dicapai Nobunaga dan Hideyoshi menciptakan dasar bagi stabilitas politik di masa Tokugawa.
Selain itu, estetika seni, arsitektur, dan upacara budaya yang muncul pada periode ini membentuk identitas budaya Jepang yang bertahan hingga era modern.
Periode ini juga menandai pertama kalinya Jepang secara serius berinteraksi dengan dunia Barat, membuka jalur perdagangan, teknologi, dan pertukaran budaya yang akan berlanjut meski terbatas pada era isolasi berikutnya.
Zaman Azuchi–Momoyama (1573–1603) adalah periode transformasi penting dalam sejarah Jepang. Dengan upaya unifikasi oleh Oda Nobunaga dan Toyotomi Hideyoshi, negara yang sebelumnya tercerai-berai berhasil disatukan.
Era ini tidak hanya menonjolkan kekuatan militer dan politik, tetapi juga kemajuan budaya dan awal kontak global.
Kastil Azuchi dan Momoyama menjadi simbol era ini, sementara interaksi dengan Eropa menyiapkan panggung bagi perubahan sosial dan teknologi. Periode ini menghubungkan Jepang dari konflik sengit ke stabilitas politik dan fondasi budaya yang berkelanjutan.

0Komentar